DULU, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…”
Sepenggal kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh
kurus yang tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air)
ini begitu berapi-api saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam
sebutan lokal dikenal dengan Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga
hampir separuh masyarakat yang berada di sepanjang aliran Sungai Tapung
Kanan, yang pekerjaan pokoknya adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa
Penyelamat yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan
tangkapan susah atau tidak seberapa didapat.
“Ketika
turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit, tapi kalau
bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup untuk
biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata menerawang.
Harga
Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya. Dipasaran, seekor
ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga Rp500,000,- s.d.
Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat masyarakat selalu
berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim kemarau, ketika
tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami
juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak sembarangan,
kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang larang dalam
menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama, jika tidak
mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi
masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan tahun
lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau
diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili
sang pelaku.
Salah
satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak
diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan
lagi. Pantang larang lainnya tidak boleh menuba (menangkap
ikan dengan racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya
boleh yang sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini
selelau menjaga dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana
tidak pernah punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak
sungai yang mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi
kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah
menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui.
Doa-doa khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan
tersebut pun kini tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak
lagi mendengar, ia sudah punah.
Punah
ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai Tapung
Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri pengolahan
sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan pada tahun
2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai tanpa
melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya
puluah ton ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat
itu seperti lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami
bawa ke perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama
kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati terapung
didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil menunjuk
sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak
Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak bermoral
perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk menemui
managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah
diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui
matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak
Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima
ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang
berujung bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam
demontrasi tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari
aset-aset perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat
nelayan merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal
kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan melepaskannya
ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk menghidupi
anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.“DULU, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…”
Sepenggal kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh
kurus yang tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air)
ini begitu berapi-api saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam
sebutan lokal dikenal dengan Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga
hampir separuh masyarakat yang berada di sepanjang aliran Sungai Tapung
Kanan, yang pekerjaan pokoknya adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa
Penyelamat yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan
tangkapan susah atau tidak seberapa didapat.
“Ketika
turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit, tapi kalau
bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup untuk
biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata menerawang.
Harga
Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya. Dipasaran, seekor
ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga Rp500,000,- s.d.
Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat masyarakat selalu
berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim kemarau, ketika
tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami
juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak sembarangan,
kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang larang dalam
menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama, jika tidak
mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi
masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan tahun
lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau
diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili
sang pelaku.
Salah
satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak
diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan
lagi. Pantang larang lainnya tidak boleh menuba (menangkap
ikan dengan racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya
boleh yang sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini
selelau menjaga dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana
tidak pernah punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak
sungai yang mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi
kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah
menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui.
Doa-doa khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan
tersebut pun kini tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak
lagi mendengar, ia sudah punah.
Punah
ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai Tapung
Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri pengolahan
sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan pada tahun
2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai tanpa
melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya
puluah ton ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat
itu seperti lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami
bawa ke perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama
kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati terapung
didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil menunjuk
sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak
Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak bermoral
perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk menemui
managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah
diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui
matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak
Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima
ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang
berujung bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam
demontrasi tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari
aset-aset perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat
nelayan merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal
kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan melepaskannya
ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk menghidupi
anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.
Kuala Tapung merupakan hulu Sungai Siak
Sungai
Siak berhulu di Kuala Tapung yang merupakan pertemuan Sungai Tapung
Kanan dan Sungai Tapung Kiri. Perbedaan karakteristik antara Tapung
Kanan dan Tapung Kiri menjadikan Sungai Siak lebih komplek jika
dibandingkan dengan kedua sungai tersebut.
Perbedaan
mencolok antara kedua sungai itu terletak di kondisi fisiknya, Sungai
Tapung Kanan yang berawa-rawa yang menyebabkan airnya lebih keruh,
sedangkan Sungai Tapung kiri airnya jauh lebih jernih yang memang
sungainya berpasir.
“Ikan
Kayangan hanya dijumpai di Sungai Tapung Kanan, sedangkan di Sungai
Tapung Kiri tidak ada”, ujar Bapak Hendri Hanafi Ketua RW Dusun IV
Plambayan Desa Kota Garo Kecamatan Tapung Hilir Kebupaten Kampar yang
‘menghadiahi’ kami seekor ikan juaro yang didapat dari pancingannya untuk sambal makan malam.
Selain
ikan Arwana, Sungai Tapung Kiri juga lebih kecil dan dangkal, menurut
kapten kapal yang membawa kami, tidak memungkinkan untuk menyusuri
Sungai Tapung Kiri, sehingga akhirnya kami hanya masuk di Sungai Tapung
Kanan.
“Masyarakat
di sini pada umumnya nelayan, sedangkan penduduk pendatang kebanyakan
menjadi buruh diperkebunan sawit”, jelas Pak Hendri ketika kami
menanyakan penduduk di kampung Plambayan.
Bapak
Hendri Hanafi merupakan putra asli Kampung Bencah Kelubi yang terletak
di Sungai Tapung Kiri, ‘merantau’ ke kampung sebelahnya di Dusun
Plambaian yang terletak aliran Sungai Tapung Kanan sejak puluhan tahun
lalu. Ia merupakan seorang mantan pekerja balak yang menjual
kayu-kayunya keperusahaan.
“Dulu
di sini banyak cerit-cerita mistik dan kejadian-kejadian aneh. Tapi
sekarang tidak lagi, sejak hutan sudah tidak adalagi”, jelasnya sambil
menceritakan kejadian-kejadian mistik yang pernah dialami olehnya dan
warganya.
Di
sepanjang Sungai Tapung Kanan, akan dijumpai berderet-deret rumah rakit
tempat masyarkat mencari ikan. Ikan-ikan yang didapat lalu dijual
kepada pengumpul, tapi ketika harga ikan turun, mereka menyimpanan di
tempat penyimpanan sementara seperti keramba dan akan dijual ketika
harga ikan sudah tinggi.
Dari BCB yang terlantar hingga Hutan yang Tak Lagi Hijau
Disepanjang
aliran Sungai Siak, hutan-hutan tidak lagi hijau dan digantikan
tungul-tunggul mati yang tak ‘berpenghuni’. Jikapun ada ‘hutan’ hanyalah
ribuan kebun sawit milik perusahaan yang membentang angkuh seperti
menyelimuti bumi. Flora dan fauna khas Sungai Siak pun hilang seiring
hancurnya hutan. Tidak akan dijumpai lagi rimbo gano atau hutan belantara dengan kicauan burung dan pekikan binatang liar lainnya.
Di
Rantau Pasir Sakti, terdapat Benda Cagar Budaya (BCB) berupa makam
Keramat Datuk Baasir yang panjangnya 3 meter. Makam ini berada sekitar 7
meter dipinggir Sungai Siak yang dipagari rumah kecil beratap seng yang
hampir roboh. Beberapa kain putih yang merupakan nazar penduduk
setempat menutup nisan makam. Menurut kepercayaan, makam ini tidak
pernah digenangi air walaupun Sungai Siak sedang banjir.
Penyelusuran
Sungai Tapung Kanan merupakan awal dalam perjalan kami menyusuri Sungai
Siak, setelah sebelumnya seharian ke hulu Sungai Siak dari Pelabuhan
Sungai Duku di Pekanbaru tempat kami menyewa pompong.
Kami,
tim Ekspedisi Kebudayaan Siak yang terdiri dari Elmustian Rahman
(Penasehat), Heri Budiman (Koordinator/Kameramen), Derichard H. Putra,
Gusmar Hadi (Peneliti), dan Arza Aibonotika dan Amriyadi (fotografer),
dan 2 orang ‘awak’ pompong akan kembali melajutkan perjalanan menuju
hilir sungai ini.
Pak
Ujang bersama teman-temannya yang telah menemani kami bercerita menatap
kami dengan tatapan senyum renyah. Sebelas sampan kecil berbaris di
dekat rakitnya menunggu pemancing penyewa perahunya seharga Rp20.000,-
s.d Rp30.000,- sehari tergantung besar kecil perahu yang disewa. Ia
kini telah beralih profesi menjadi ‘juragan’ perahu. Tak lagi pencari
Arwana, sejak ‘Dewa’ itu tidak lagi mendengar lafal-lafal doanya***
0 comments:
Post a Comment