Thursday, December 18, 2014

DULU, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…” Sepenggal kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh kurus yang tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air) ini begitu berapi-api saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam sebutan lokal dikenal dengan Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga hampir separuh masyarakat yang berada di sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, yang pekerjaan pokoknya adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa Penyelamat yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan tangkapan susah atau tidak seberapa didapat.

“Ketika turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit, tapi kalau bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup untuk biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata menerawang.
Harga Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya. Dipasaran, seekor ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga Rp500,000,- s.d. Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat masyarakat selalu berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim kemarau, ketika tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak sembarangan, kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang larang dalam menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama, jika tidak mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan tahun lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili sang pelaku.
Salah satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan lagi. Pantang larang  lainnya tidak boleh menuba (menangkap ikan dengan racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya boleh yang sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini selelau menjaga dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana tidak pernah punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak sungai yang mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui. Doa-doa khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan tersebut pun kini tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak lagi mendengar, ia sudah punah.
Punah ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri pengolahan sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan pada tahun 2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai tanpa melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya puluah ton ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat itu seperti lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami bawa ke perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati terapung didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil menunjuk sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak bermoral perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk menemui managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang berujung bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam demontrasi tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari aset-aset perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat nelayan merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan melepaskannya ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk menghidupi anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.DULU, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…” Sepenggal kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh kurus yang tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air) ini begitu berapi-api saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam sebutan lokal dikenal dengan Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga hampir separuh masyarakat yang berada di sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, yang pekerjaan pokoknya adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa Penyelamat yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan tangkapan susah atau tidak seberapa didapat.
“Ketika turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit, tapi kalau bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup untuk biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata menerawang.
Harga Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya. Dipasaran, seekor ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga Rp500,000,- s.d. Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat masyarakat selalu berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim kemarau, ketika tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak sembarangan, kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang larang dalam menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama, jika tidak mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan tahun lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili sang pelaku.
Salah satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan lagi. Pantang larang  lainnya tidak boleh menuba (menangkap ikan dengan racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya boleh yang sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini selelau menjaga dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana tidak pernah punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak sungai yang mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui. Doa-doa khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan tersebut pun kini tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak lagi mendengar, ia sudah punah.
Punah ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri pengolahan sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan pada tahun 2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai tanpa melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya puluah ton ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat itu seperti lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami bawa ke perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati terapung didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil menunjuk sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak bermoral perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk menemui managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang berujung bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam demontrasi tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari aset-aset perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat nelayan merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan melepaskannya ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk menghidupi anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.
Kuala Tapung merupakan hulu Sungai Siak
Sungai Siak berhulu di Kuala Tapung yang merupakan pertemuan Sungai Tapung Kanan dan Sungai Tapung Kiri. Perbedaan karakteristik antara Tapung Kanan dan Tapung Kiri menjadikan Sungai Siak lebih komplek jika dibandingkan dengan kedua sungai tersebut.
Perbedaan mencolok antara kedua sungai itu terletak di kondisi fisiknya, Sungai Tapung Kanan yang berawa-rawa yang menyebabkan airnya lebih keruh, sedangkan Sungai Tapung kiri airnya jauh lebih jernih yang memang sungainya berpasir.
“Ikan Kayangan hanya dijumpai di Sungai Tapung Kanan, sedangkan di Sungai Tapung Kiri tidak ada”, ujar Bapak Hendri Hanafi Ketua RW Dusun IV Plambayan Desa Kota Garo Kecamatan Tapung Hilir Kebupaten Kampar yang ‘menghadiahi’ kami seekor ikan juaro yang didapat dari pancingannya untuk sambal makan malam.
Selain ikan Arwana, Sungai Tapung Kiri juga lebih kecil dan dangkal, menurut kapten kapal yang membawa kami, tidak memungkinkan untuk menyusuri Sungai Tapung Kiri, sehingga akhirnya kami hanya masuk di Sungai Tapung Kanan.
“Masyarakat di sini pada umumnya nelayan, sedangkan penduduk pendatang kebanyakan menjadi buruh diperkebunan sawit”, jelas Pak Hendri ketika kami menanyakan penduduk di kampung Plambayan.
Bapak Hendri Hanafi merupakan putra asli Kampung Bencah Kelubi yang terletak di Sungai Tapung Kiri, ‘merantau’ ke kampung sebelahnya di Dusun Plambaian yang terletak aliran Sungai Tapung Kanan sejak puluhan tahun lalu. Ia merupakan seorang mantan pekerja balak yang menjual kayu-kayunya keperusahaan.
“Dulu di sini banyak cerit-cerita mistik dan kejadian-kejadian aneh. Tapi sekarang tidak lagi, sejak hutan sudah tidak adalagi”, jelasnya sambil menceritakan kejadian-kejadian mistik yang pernah dialami olehnya dan warganya.
Di sepanjang Sungai Tapung Kanan, akan dijumpai berderet-deret rumah rakit tempat masyarkat mencari ikan. Ikan-ikan yang didapat lalu dijual kepada pengumpul, tapi ketika harga ikan turun, mereka menyimpanan di tempat penyimpanan sementara seperti keramba dan akan dijual ketika harga ikan sudah tinggi.
Dari BCB yang terlantar hingga Hutan yang Tak Lagi Hijau
Disepanjang aliran Sungai Siak, hutan-hutan tidak lagi hijau dan digantikan tungul-tunggul mati yang tak ‘berpenghuni’. Jikapun ada ‘hutan’ hanyalah ribuan kebun sawit milik perusahaan yang membentang angkuh seperti menyelimuti bumi. Flora dan fauna khas Sungai Siak pun hilang seiring hancurnya hutan. Tidak akan dijumpai lagi rimbo gano atau hutan belantara dengan kicauan burung dan pekikan binatang liar lainnya.
Di Rantau Pasir Sakti, terdapat Benda Cagar Budaya (BCB) berupa makam Keramat Datuk Baasir yang panjangnya 3 meter. Makam ini berada sekitar 7 meter dipinggir Sungai Siak yang dipagari rumah kecil beratap seng yang hampir roboh. Beberapa kain putih yang merupakan nazar penduduk setempat menutup nisan makam. Menurut kepercayaan, makam ini tidak pernah digenangi air walaupun Sungai Siak sedang banjir.
Penyelusuran Sungai Tapung Kanan merupakan awal dalam perjalan kami menyusuri Sungai Siak, setelah sebelumnya seharian ke hulu Sungai Siak dari Pelabuhan Sungai Duku di Pekanbaru tempat kami menyewa pompong.
Kami, tim Ekspedisi Kebudayaan Siak yang terdiri dari Elmustian Rahman (Penasehat), Heri Budiman (Koordinator/Kameramen), Derichard H. Putra, Gusmar Hadi (Peneliti), dan Arza Aibonotika dan Amriyadi (fotografer), dan 2 orang ‘awak’ pompong akan kembali melajutkan perjalanan menuju hilir sungai ini.
Pak Ujang bersama teman-temannya yang telah menemani kami bercerita menatap kami dengan tatapan senyum renyah. Sebelas sampan kecil berbaris di dekat rakitnya menunggu pemancing penyewa perahunya seharga Rp20.000,- s.d Rp30.000,- sehari tergantung besar kecil  perahu yang disewa. Ia kini telah beralih profesi menjadi ‘juragan’ perahu. Tak lagi pencari Arwana, sejak ‘Dewa’ itu tidak lagi mendengar lafal-lafal doanya***

0 comments:

Post a Comment