Thursday, December 18, 2014

DULU, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…” Sepenggal kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh kurus yang tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air) ini begitu berapi-api saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam sebutan lokal dikenal dengan Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga hampir separuh masyarakat yang berada di sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, yang pekerjaan pokoknya adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa Penyelamat yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan tangkapan susah atau tidak seberapa didapat.

“Ketika turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit, tapi kalau bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup untuk biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata menerawang.
Harga Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya. Dipasaran, seekor ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga Rp500,000,- s.d. Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat masyarakat selalu berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim kemarau, ketika tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak sembarangan, kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang larang dalam menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama, jika tidak mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan tahun lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili sang pelaku.
Salah satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan lagi. Pantang larang  lainnya tidak boleh menuba (menangkap ikan dengan racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya boleh yang sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini selelau menjaga dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana tidak pernah punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak sungai yang mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui. Doa-doa khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan tersebut pun kini tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak lagi mendengar, ia sudah punah.
Punah ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri pengolahan sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan pada tahun 2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai tanpa melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya puluah ton ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat itu seperti lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami bawa ke perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati terapung didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil menunjuk sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak bermoral perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk menemui managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang berujung bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam demontrasi tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari aset-aset perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat nelayan merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan melepaskannya ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk menghidupi anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.DULU, ikan Kayangan adalah dewa bagi kami. Tapi kini…” Sepenggal kata-kata pak Ujang melecut miris hati kami. Lelaki bertubuh kurus yang tinggal di sebuah rakit (rumah kecil terapung di atas air) ini begitu berapi-api saat bercerita tentang ikan Arwana, yang dalam sebutan lokal dikenal dengan Ikan Kayangan. Bagi Pak Ujang, dan juga hampir separuh masyarakat yang berada di sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, yang pekerjaan pokoknya adalah nelayan, Ikan Kayangan adalah Dewa Penyelamat yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jika ikan tangkapan susah atau tidak seberapa didapat.
“Ketika turun (mencari ikan-pen), walaupun kami hanya dapat sedikit, tapi kalau bisa membawa pulang satu ekor anak Kayangan, itu sudah cukup untuk biaya hidup kami sebulan,” lanjut Pak Ujang dengan mata menerawang.
Harga Ikan Arwana memang sangat berbeda dengan ikan lainya. Dipasaran, seekor ikan Arwana ukuran sebesar 2 cm, bisa seharga Rp500,000,- s.d. Rp1.000.000,-. Harga yang sangat spesial ini membuat masyarakat selalu berharap dapat menangkap ikan Arwana, apalagi dimusim kemarau, ketika tangkapan ikan hanya sedikit.
“Kami juga punya aturan dalam menangkap Ikan Kayangan, tidak sembarangan, kami sangat menjaga kelestariannya, kami punya pantang larang dalam menangkap ikan tersebut, demi kemaslahatan kami bersama, jika tidak mungkin ikan itu sudah punah sejak lama”, jelas Pak Ujang lagi.
Bagi masyarakat sepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, sejak belasan tahun lalu, ikan Arwana adalah ikan larangan yang tidak boleh ditangkap atau diambil sembarangan, ada pantang larang dan kode etik tertentu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka hukum adat akan mengadili sang pelaku.
Salah satu pantang larang yang tidak boleh dilanggar adalah tidak diperbolehkan menangkap induk Arwana, jika tertangkap harus dilepaskan lagi. Pantang larang  lainnya tidak boleh menuba (menangkap ikan dengan racun) sungai. Selain itu, ikan Arwana yang ditanggap hanya boleh yang sebesar dua jari orang dewasa. Dan masyarakat selama ini selelau menjaga dan mematuhi larangan tersebut, dan buktinya ikan arwana tidak pernah punah di Sepanjang Sungai Tapung Kanan, dan di anak-anak sungai yang mengalir ke Sungai Tapung Kanan.
“Kalau menangkap induknya sangat gampang sekali, kalau sedang melepas anak, ia akan timbul dan sangat jinak, tapi kami tidak akan menangkapnya”, tutur Pak Ujang yakin.
Tapi kini, Arwana tidak lagi Dewa Penyelamat, ikan itu benar-benar telah menjadi dewa yang tinggal di kayangan yang tak lagi bisa ditemui. Doa-doa khusus yang selalu dilafalkan ketika hendak mencari ikan tersebut pun kini tak pernah lagi di dengar sang ikan. Sang Dewa tak lagi mendengar, ia sudah punah.
Punah ranahnya Arwana menurut masyarakat disepanjang aliran Sungai Tapung Kanan, bermula ketika tercemarnya sungai oleh limbah industri pengolahan sawit PT MUL yang beroperasi di hulu Sungai Tapung Kanan pada tahun 2003. Perusahaan tersebut membuang limbah industri ke sungai tanpa melalui proses penetrasi zat kimia terlebih dahulu. Akibatnya puluah ton ikan mati, termasuk ikan arwana. “Sungai Tapung Kanan saat itu seperti lautan ikan mati, 9 induk Kayangan yang ditemukan mati kami bawa ke perusahaan, sebagai bukti ulah mereka”, tutur Pak Ujang geram.
“Pertama kali dalam hidup saya melihat ikan tapa sebesar perahu, mati terapung didekat rakit saya”, timpal seorang teman Pak Ujang sambil menunjuk sebuah perahu yang berjejer tak jauh dari kami.
Pak Ujang bersama masyarakat tak bisa menerima perbuatan tak bermoral perusahaan, mereka lalu bermusyawarah dan sepakat untuk menemui managemen perusahaan minta pertanggungjawaban. Seperti sudah diperkirakan, perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengakui matinya ribuan ikan akibat dari limbah yang tercemar dari pabrik mereka.
Pak Ujang dan masyarakat nelayan lainnya tidak bisa menerima ketidakpedulian pihak perusahaan, mereka lalu berdemontrasi yang berujung bentrok dengan tenaga keamanan perusahaan dan polisi. Dalam demontrasi tersebut, masyarakat “sukses” membakar sebagian dari aset-aset perusahaan. Setelahnya apa yang terjadi? 10 dari masyarakat nelayan merasakan dinginnya tidur dibalik jeruji besi.
“Padahal kami hanya minta mereka mengganti induk arwana kami dan melepaskannya ke sungai, agar kami bisa menangkap anak-anaknya untuk menghidupi anak-anak kami” tutur Pak Ujang parau.
Kuala Tapung merupakan hulu Sungai Siak
Sungai Siak berhulu di Kuala Tapung yang merupakan pertemuan Sungai Tapung Kanan dan Sungai Tapung Kiri. Perbedaan karakteristik antara Tapung Kanan dan Tapung Kiri menjadikan Sungai Siak lebih komplek jika dibandingkan dengan kedua sungai tersebut.
Perbedaan mencolok antara kedua sungai itu terletak di kondisi fisiknya, Sungai Tapung Kanan yang berawa-rawa yang menyebabkan airnya lebih keruh, sedangkan Sungai Tapung kiri airnya jauh lebih jernih yang memang sungainya berpasir.
“Ikan Kayangan hanya dijumpai di Sungai Tapung Kanan, sedangkan di Sungai Tapung Kiri tidak ada”, ujar Bapak Hendri Hanafi Ketua RW Dusun IV Plambayan Desa Kota Garo Kecamatan Tapung Hilir Kebupaten Kampar yang ‘menghadiahi’ kami seekor ikan juaro yang didapat dari pancingannya untuk sambal makan malam.
Selain ikan Arwana, Sungai Tapung Kiri juga lebih kecil dan dangkal, menurut kapten kapal yang membawa kami, tidak memungkinkan untuk menyusuri Sungai Tapung Kiri, sehingga akhirnya kami hanya masuk di Sungai Tapung Kanan.
“Masyarakat di sini pada umumnya nelayan, sedangkan penduduk pendatang kebanyakan menjadi buruh diperkebunan sawit”, jelas Pak Hendri ketika kami menanyakan penduduk di kampung Plambayan.
Bapak Hendri Hanafi merupakan putra asli Kampung Bencah Kelubi yang terletak di Sungai Tapung Kiri, ‘merantau’ ke kampung sebelahnya di Dusun Plambaian yang terletak aliran Sungai Tapung Kanan sejak puluhan tahun lalu. Ia merupakan seorang mantan pekerja balak yang menjual kayu-kayunya keperusahaan.
“Dulu di sini banyak cerit-cerita mistik dan kejadian-kejadian aneh. Tapi sekarang tidak lagi, sejak hutan sudah tidak adalagi”, jelasnya sambil menceritakan kejadian-kejadian mistik yang pernah dialami olehnya dan warganya.
Di sepanjang Sungai Tapung Kanan, akan dijumpai berderet-deret rumah rakit tempat masyarkat mencari ikan. Ikan-ikan yang didapat lalu dijual kepada pengumpul, tapi ketika harga ikan turun, mereka menyimpanan di tempat penyimpanan sementara seperti keramba dan akan dijual ketika harga ikan sudah tinggi.
Dari BCB yang terlantar hingga Hutan yang Tak Lagi Hijau
Disepanjang aliran Sungai Siak, hutan-hutan tidak lagi hijau dan digantikan tungul-tunggul mati yang tak ‘berpenghuni’. Jikapun ada ‘hutan’ hanyalah ribuan kebun sawit milik perusahaan yang membentang angkuh seperti menyelimuti bumi. Flora dan fauna khas Sungai Siak pun hilang seiring hancurnya hutan. Tidak akan dijumpai lagi rimbo gano atau hutan belantara dengan kicauan burung dan pekikan binatang liar lainnya.
Di Rantau Pasir Sakti, terdapat Benda Cagar Budaya (BCB) berupa makam Keramat Datuk Baasir yang panjangnya 3 meter. Makam ini berada sekitar 7 meter dipinggir Sungai Siak yang dipagari rumah kecil beratap seng yang hampir roboh. Beberapa kain putih yang merupakan nazar penduduk setempat menutup nisan makam. Menurut kepercayaan, makam ini tidak pernah digenangi air walaupun Sungai Siak sedang banjir.
Penyelusuran Sungai Tapung Kanan merupakan awal dalam perjalan kami menyusuri Sungai Siak, setelah sebelumnya seharian ke hulu Sungai Siak dari Pelabuhan Sungai Duku di Pekanbaru tempat kami menyewa pompong.
Kami, tim Ekspedisi Kebudayaan Siak yang terdiri dari Elmustian Rahman (Penasehat), Heri Budiman (Koordinator/Kameramen), Derichard H. Putra, Gusmar Hadi (Peneliti), dan Arza Aibonotika dan Amriyadi (fotografer), dan 2 orang ‘awak’ pompong akan kembali melajutkan perjalanan menuju hilir sungai ini.
Pak Ujang bersama teman-temannya yang telah menemani kami bercerita menatap kami dengan tatapan senyum renyah. Sebelas sampan kecil berbaris di dekat rakitnya menunggu pemancing penyewa perahunya seharga Rp20.000,- s.d Rp30.000,- sehari tergantung besar kecil  perahu yang disewa. Ia kini telah beralih profesi menjadi ‘juragan’ perahu. Tak lagi pencari Arwana, sejak ‘Dewa’ itu tidak lagi mendengar lafal-lafal doanya***
Nama ikan belida adalah adalah sebuah ‘trademark’ untuk kuliner Palembang, karena dari daging ikan inilah dibuat makanan khas Palembang ‘pempek’. Ikan belida sebenarnya tergolong ikan hias yang dipelihara di akuarium, namun di kawasan Sumatera Selatan ikan ini bernasib cukup merana. Penangkapan yang tak mengenal jedah, sehingga ikan belida yang masih kecil pun dijaring, menyebabkan ikon Palembang ini berada di ambang kepunahan.
Ikan belida ini sesungguhnya bukan ‘milik’ khas orang Palembang, karena sebarannya cukup luas mulai dari India, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Kalimantan. Dalam bahasa Inggris ikan ini dinamakan ‘clown knife fish’. Diberi atribut ‘clown’ karena di badan ikan ada corak bulat-bulat menyerupai pakaian badut, dan disebut ‘knife fish’ karena bentuk tubuhnya yang panjang pipih menyerupai pisau. Di Surabaya, ikan yang sudah sangat langka ini dinamakan ‘ikan peso/ikan pisau’. Di India, ikan ini dinamakan ‘chitala chitala’.Menurut legenda orang Palembang, ikan ini dinamakan ‘belida’, karena dia tergolong ikan yang pandai bersilat lidah.
Dewasa ini, sekali pun pempek selalu dipromosikan berasal dari daging ikan belida, senyatanya sebagian besar dibuat dari daging ikan tenggiri, ikan gabus atau ikan yang lain. Alasannya tentunya karena ikan belida sudah sangat langka. Mungkin pemerintah perlu mempertimbangkan status satwa ini sebagai hewan yang perlu dilindungi. Atau sekurang-kurangnya diberi batasan kapan dan umur berapa ikan belida ini boleh ditangkap dan dijala.
Dahulu sekitar tahun 1800an, ikan ini diberi nama latin Notopterus kapirat, namun setelah mengalami perubahan nomenklatur, dia dinamakan dengan Notopterus notopterus. Ikan ini termasuk hewan nokturnal (aktif mencari makan pada malam hari) karenanya ditangkap nelayan pada malam hari. Bilamana dipelihara di dalam akuarium, sebaiknya dipisahkan dengan ikan-ikan lain, karena ikan belida ini relatif tak bersisik, sehingga bila bersinggungan dengan ikan yang bersisik tebal dapat menimbulkan luka yang fatal.
Saya belum pernah mendengar ada penangkaran ikan belida ini, seperti halnya ikan lele yang dapat diternakkan dalam jumlah ratusan ribu. Mungkin karakteristik pembiakan ikan belida ini memang tak memungkinkan untuk dibesarkan di tambak. Yang jelas, orang Palembang perlu memikirkan pelestarian ikan belida yang menjadi ‘maskot’nya, agar dia tak terancam punah, seperti halnya nasib harimau sumatra.

Monday, December 15, 2014


Ikan patin sangat bagus untuk dibudidayakan serta memiliki peluang ekonomi di indonesia. Saat ini, pemenuhan atas permintaan ikan patin masih sangat kurang, oleh karena itu usaha budidaya ikan patin sangat layak untuk dikembangkan. Ikan patin seperti halnya ikan lele tidak memiliki sisik dan memiliki semacam duri yang tajam di bagian siripnya keduanya tergolong dalam kelompok catfish. Ada yang menyebut ikan patin dengan Lele Bangkok. Di beberapa daerah ikan patin memiliki nama yang berbeda-beda antara lain ikan Jambal, ikan Juara, Lancang dan Sodarin. Rasa daging ikan patin yang enak dan gurih konon memiliki rasa yang lebih dibandingkan Ikan Lele. Ikan patin memiliki kandungan minyak dan lemak yang cukup banyak di dalam dagingnya.
 Teknik budidaya ikan patin relatif mudah, sehingga tidak perlu ragu jika berminat menekuni budidaya ikan ini. Pada awalnya pemenuhan kebutuhan ikan patin hanya mengandalkan penangkapan dari sungai, rawa dan danau sebagai habitat asli ikan patin. Seiring dengan meningkatnya permintaan dan minat masyarakat, ikan patin mulai dibudidayakan di kolam,keramba maupun bak dari semen. Permintaan ikan patin yang terus meningkat memberikan peluang usaha bagi setiap orang untuk menekuni usaha di bidang budidaya ikan patin ini. Dengan permintaan yang demikian meningkat jelas tidak mungkin mengandalkan tangkapan alam, tetapi perlu budidaya ikan patin secara lebih intesnsif.

Persyaratan Budidaya Ikan Patin

Budidaya ikan Patin memerlukan beberapa persyaratan dan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangannya antara lain sebagai berikut :
  1.  Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan dan budi daya ikan patin adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam.
  2. Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi.
  3. Apabila pembesaran patin dilakukan dengan jala apung yang dipasang disungai maka lokasi yang tepat yaitu sungai yang berarus lambat.
  4. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan patin harus bersih, tidak terlalu keruhdan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kualitas air harus diperhatikan, untuk menghindari timbulnya jamur, maka perlu ditambahkan larutan penghambat pertumbuhan jamur (Emolin atau Blitzich dengan dosis 0,05 cc/liter).
  5. Suhu air yang baik pada saat penetasan telur menjadi larva di akuarium adalah antara 26-28 derajat C. Pada daerah-daerah yang suhu airnya relatif rendah diperlukan heater (pemanas) untuk mencapai suhu optimal yang relatif stabil.
  6. PH air berkisar antara: 6,5-7.                             

    Teknik Pemeliharaan Pembesaran Ikan Patin

    Pemeliharaan Pembesaran ditujukan untuk pemenuhan Ikan Patin konsumsi. Ikan Patin dikonsumsi dalam berbagai ukuran, antara lain 200 gram sampai 1 kg. Masa panen menyesuaikan dengan permintaan pasar. Ada sebagian yang lebih senang ukuran kecil sekitar 200 gram ada yang lebih dari itu. Pada Usia 6 bulan ikan patin sudah mencapai bobot 600-700 gram.
    Ikan Patin akan tumbuh lebih baik di kolam lumpur dengan aliran air yang mengalir cukup baik, meski demikian bisa juga dipeihara pada kolam semen yang tidak mengalir, tetapi perlu diperhatikan kualitas air agar tetap dalam konsisi yang baik. Langkah-langkah pemeliharaan Ikan Patin Sebagai Berikut:
    1. Pemupukan
    Pada kolam lumpur idealnya perlu dilakukan pemupukan sebelum ikan patin ditebarkan. Pemupukan kolam bertujuan untuk meningkatkan makanan alami dan produktivitas kolam, yaitu dengan cara merangsang pertumbuhan makanan alami sebanyak-banyaknya.Pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk kandang atau pupuk hijau dengan dosis 50-700 gram/m 2.
    2. Pemberian Pakan
    Faktor yang cukup menentukan dalam budi daya ikan patin adalah faktor pemberia makanan. Faktor makanan yang berpengaruh terhadap keberhasilan budi daya ikan patin adalah dari aspek kandungan gizinya, jumlah dan frekuensi pemberin makanan. Pemberian makan dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore). Jumlah makanan yang diberikan per hari sebanyak 3-5% dari jumlah berat badan ikan peliharaan. Jumlah makanan selalu berubah setiap bulan, sesuai dengan kenaikan berat badan ikan. Hal ini dapat diketahui dengan cara menimbangnya 5-10 ekor ikan contoh yang diambil dari ikan yang dipelihara (sampel). Pakan yang diberikan adalah Pelet dan bisa ditambahkan makanan alami lainnya seperti kerang, keong emas,bekicot, ikan sisa, sisa dapur dan lain-lain. Makanan alami yang diperoleh dari lingkungan selain mengandung protein tinggi juga menghemat biaya pemeliharaan.
    3. Penanganan Hama Dan Penyakit
    Salah satu kendala dan masalah Budi daya ikan patin adalah hama dan penyakit. Pada pembesaran ikan patin di jaring terapung dan kolam hama yang mungkin menyerang antara lain lingsang, kura-kura, biawak, ular air, dan burung. Cegah akses masuk hama tersebut ke kolam atau dengan memasang lampu penerangan si sekitar kolam. Hama tersebut biasanya enggan masuk jika ada sinar lampu. Penyakit ikan patin ada yang disebabkan infeksi dan non-infeksi. Penyakit non-infeksi adalah penyakit yang timbul akibatadanya gangguan faktor yang bukan patogen. Penyakit non-infeksi ini tidak menular. Sedangkan penyakit akibat infeksi biasanya timbul karena gangguan organisme patogen.
    4. Pemanenan Ikan Patin
    Pemanenan adalah saat yang ditunggu pada budi daya ikan patin. Meski terlihat sederhana pemanenan juga perlu memperhatikan beberapa aspek agar ikan tidak mengalami kerusakan,kematian, cacat saat dipanen. Sayang jika budi daya ikan patin sudah berhasil dengan baik, harus gagal hanya karena cara panen yang salah. Penangkapan ikan dengan menggunakan jala apung akan mengakibatkan ikan mengalami luka-luka. Sebaiknya penangkapan ikan dimulai dibagian hilir kemudian bergerak kebagian hulu. Jadi bila ikan didorong dengan kere maka ikan patin akan terpojok pada bagian hulu. Pemanenan seperti ini menguntungkan karena ikan tetap mendapatkan air yang segar sehingga kematian ikan dapat dihindari. Pemasaran Ikan Patin dalam bentuk segar dan hidup lebih diminati oleh konsumen, karena itu diusahakann menjual dalam bentuk ini. Harga Ikan Patin Per kilogram kurang lebih Rp 15.000.
Kryptopterus lais atau biasa dikenal dengan nama Ikan Selais adalah salah satu fauna khas Provinsi Riau. Bahkan Ikan Selais dijadikan sebagai icon Provinsi Riau Sumatera. Ya, tepat di depan Kantor Walikota Pekanbaru di Jalan Jendral Sudirman, Anda akan menjumpai sebuah tugu yang berbentuk Ikan Selais. Tugu tersebut diberi nama Tugu Ikan Selais Tiga Sepadan.
Ikan Selais berbentuk pipih memanjang dengan bentuk kepala menyerupai kerucut. Tubuh ikan Riau ini tanpa sisik dan memiliki dua ‘kumis’ panjang. Selain itu, Ikan Selais memiliki mulut berukuran cukup lebar yang menempel persis di ujung bagian kepala. Makanannya sendiri adalah spesies ikan lainnya dengan ukuran yang jauh lebih kecil.
Ikan khas Riau ini biasa hidup di perairan tawar. Beberapa sungai seperti Sungai Kampar, Sungai Kuantan, Sungai Rokan, Sungai Inderagiri, dan Sungai Segati menjadi habitat dari Ikan Selais. Tidak hanya di sungai, Ikan Selais juga mampu bertahan hidup di danau. Biasanya, suhu air pada habitat mereka antara 24-26 derajat Celcius.
Ikan Selais merupakan spesies ikan endemik Provinsi Riau Sumatera. Data Fishbase menyebutkan, Indonesia berada di urutan ketiga sebagai negara yang memiliki spesies ikan air tawar terbanyak di dunia, setelah China (urutan kedua) dan Brazil (urutan pertama). Dari data tersebut diketahui bahwa total spesies ikan air tawar di perairan Indonesia adalah 1155 spesies, dan 440 diantaranya adalah spesies endemik ikan air tawar.

Nilai Ekonomis

Ikan Selais memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Uniknya, di Provinsi Riau Ikan Selais lebih popular sebagai wisata masakan. Penikmat olahan ikan ini sangat tinggi jumlahnya, sehingga jumlah suplai Ikan Selais untuk para konsumen harus terus dijaga. Anda akan banyak menjumpai Ikan Selais yang diolah secara asapan. Apalagi, jika dijadikan menu masakan dengan tambahan bumbu-bumbu yang akan menjadikannya semakin lezat. Masakan ikan ini merupakan salah satu kuliner khas Riau. Anda jangan heran jika harganya di pasaran cukup tinggi, yaitu Rp. 170.000,- setiap kilogramnya untuk Ikan Selais asapan dan Rp. 60.000,- untuk Ikan Selais segar.

Penikmat masakan Ikan Selais ini tidak hanya dari sekitar Sumatra, para pendatang pun semangat berburu ikan ini untuk dijadikan santapan ataupun oleh-oleh bagi kerabat di tempat asal mereka. Tidak hanya di dalam negeri, Ikan Selais asapan bahkan diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia.
Akan tetapi jika tidak untuk dimasak, sebagian penduduk juga memilih spesies ikan Riau ini untuk dipelihara dalam aquarium. Bentuknya yang menarik memberikan kepuasan tersendiri bagi para penggemar ikan aquarium untuk memeliharanya. Hanya saja, perbandingan Ikan Selais yang diolah masih lebih tinggi angkanya daripada untuk pemeliharaan di aquarium.
Namun sayangnya, limbah rumah tangga dan limbah pabrik yang ada sangat mengganggu ekosistem ikan Riau yang berwarna hijau keabu-abuan ini. Ditambah lagi penangkapannya oleh para nelayan dalam rangka pemenuhan permintaan konsumen yang dilakukan terus menerus, berdampak pada jumlah ketersediaan Ikan Selais yang menjadi tidak seimbang. Sehingga akhirnya, banyak nelayan yang mencoba mencari peruntungan dengan mengembang-biakkan sendiri ikan ini.

Pelestarian Swadaya

Para nelayan berinisiatif untuk turut melakukan pemeliharaan keberadaan Ikan Selais dengan cara pembudidayaan. Dengan tambak yang dibuat sendiri, pembudidayaan tersebut menggunakan bibit yang dianggap potensial, yang mereka peroleh dari hasil tangkapan. Penyediaan ikan-ikan kecil sebagai makanan Ikan Selais juga dicari sendiri oleh para nelayan tersebut.
Meskipun Ikan Selais belum benar-benar punah, tetapi para nelayan memilih untuk mengembangbiakkan ikan khas Riau ini. Sebab hal ini juga berperan dalam menjamin ketersediaan suplai Ikan Selais bagi konsumen. Selain itu, juga untuk terus menjaga keberadaan salah satu spesies kebanggaan Propinsi Riau Sumatera.